Polemik Penceramah Radikal, MUI Ingatkan Jangan Sampai yang Kritik Pemerintah Disebut Radikal

- 7 Maret 2022, 11:40 WIB
Polemik Penceramah Radikal, MUI Ingatkan Jangan Sampai yang Kritik Pemerintah Disebut Radikal
Polemik Penceramah Radikal, MUI Ingatkan Jangan Sampai yang Kritik Pemerintah Disebut Radikal /Instagram @cholilnafis/

JURNAL SUMBAWA - Polemik tentang penceramah radikal kini sedang hangat diperbincangkan oleh publik.

Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis turut mengomentari polemik penceramah radikal tersebut.

KH Cholil Nafis mengingatkan kepada semua pihak, jangan sampai orang-orang yang mengkritik pemerintah itu disebut pencermah radikal.

Baca Juga: Arab Saudi Hapus Keharusan Karantina dan PCR, Dirjen PHU, Hilman Latif: Segera Selaraskan Kebijakan Umrah

KH Cholil Nafis mengatakan, memeng tidak ada yang suka dengan penceramah yang membangkan terhadap negera dan anti pancasila.

Sebab, hal itu sudah pasti melanggar hokum Islam dan juga hukum yang berlaku di NKRI.

"Ya. Kita tak suka penceramah yg membangkang negara dan anti pancasila yg itu pasti melanggar hukum Islam dan hukum nasional kita tapi jangan sampai yg amar ma’ruf dan nabi munkar krn mengkritik pemerintah lalu disebut radikal,” kata KH Cholil Nafis dikutip dari akun twitternya, Senin, 7 Maret 2022.

Baca Juga: Hasil Liga 1 Persita vs Persebaya: Bajul Ijo Ditahan Imbang Persita 1-1

Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengeluarkan ciri-ciri penceramah radikal.

Ciri-ciri penceramah radikal yang dikeluarkan BNPT tersebut dikeluarkan menyusul adanya pernyataan Presiden Jokowi Widodo terkait penceramah radikal merupakan peringatan kuat untuk meningkatkan kewaspadaan nasional.

Direktur Pencegahan BNPT Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid mengatakan pernyataan Presiden Jokowi pada Rapat Pimpinan TNI-Polri, di Mabes TNI, Jakarta, Selasa, 1 Maret 2022 itu harus ditanggapi serius oleh seluruh kementerian, lembaga pemerintah, dan masyarakat pada umumnya tentang bahaya radikalisme.

“Sejak awal kami (BNPT, Red) sudah menegaskan bahwa persoalan radikalisme harus menjadi perhatian sejak dini, karena sejatinya radikalisme adalah paham yang menjiwai aksi terorisme. Radikalisme merupakan sebuah proses tahapan menuju terorisme yang selalu memanipulasi dan mempolitisasi agama,” kata Nurwakhid dalam keterangan resminya, Minggu, 6 Maret 2022.

Nurwakhid menjelaskan, ada beberapa indikator penceramah radikal yang bisa dilihat dari isi materi yang disampaikan bukan tampilan penceramah.

Setidaknya, menurut Nurwakhid, ada lima indikator. Pertama, mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional.

Baca Juga: Jadwal Acara NET TV Hari Ini Senin 7 Maret 2022: Ada Oh My Venus, Kkondae Intern dan Zalim

Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama.

Ketiga, menanamkan sikap antipemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian (hate speech), dan sebaran hoaks.

Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas).

Kelima, biasanya memiliki pandangan antibudaya ataupun antikearifaan lokal keagamaan.

“Mengenali ciri-ciri penceramah jangan terjebak pada tampilan, tetapi isi ceramah dan cara pandang mereka dalam melihat persoalan keagamaan yang selalu dibenturkan dengan wawasan kebangsaan, kebudayaan, dan keragaman,” katanya pula.

Sejalan dengan itu, Nurwakhid juga menegaskan strategi kelompok radikalisme memang bertujuan untuk menghancurkan Indonesia melalui berbagai strategi yang menanamkan doktrin dan narasi ke tengah masyarakat.

Baca Juga: Hasil Premier League Manchester City vs Manchester United: The Citizens Taklukan Setan Merah

“Ada tiga strategi yang dilakukan oleh kelompok radikalisme. Pertama, mengaburkan, menghilang bahkan menyesatkan sejarah bangsa. Kedua, menghancurkan budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia. Ketiga, mengadu domba di antara anak bangsa dengan pandangan intoleransi dan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan),” kata Nurwakhid.

Strategi ini dilakukan dengan mempolitisasi agama yang digunakan untuk membenturkan agama dengan nasionalisme dan agama dengan kebudayaan luhur bangsa. Proses penanamannya dilakukan secara masif di berbagai sektor kehidupan masyarakat, termasuk melalui penceramah radikal tersebut.

“Inilah yang harus menjadi kewaspadaan kita bersama dan sejak awal untuk memutus penyebaran infiltrasi radikalisme ini salah satunya adalah jangan asal pilih undang penceramah radikal ke ruang-ruang edukasi keagamaan masyarakat,” ujarnya.***

Editor: Muslimin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah