Namun, banyak juga yang menafsirkan surat An Nisaa ayat 34 sebagai legitimasi perbuatan kekerasan (memukul) istri.
Sebenarnya, ayat ini sering menjadi perdebatan pelik yang melibatkan para intelektual muslim. Lafaz “wadhribuhunna” dalam realitasnya mengalami ambiguitas pemaknaan baik secara teks dan konteks.
Para ahli tafsir dari era klasik (salafiyah), pertengahan sampai ulama kontemporer belum menemukan kesepakatan secara syar’i dalam memantik lafaz itu.
Baca Juga: Dua Laga Ditunda, Simak Rekap Hasil dan Klasemen Sementara BRI Liga 1 Pekan Ke-22
Para ahli cuma sepakat memberikan kondisi yang ketat terhadap “wadhribuhunna” sebagai solusi terakhir dalam mempertahankan perkawinan akibat kedurhakaan (nusyuz) istri.
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
Terjemah Kemenag 2019
Artinya “Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.”
Ibnu Katsir dalam tafsirnya, menafsirkan “wadhribuhunna” sebagai suatu tindakan menegur dengan fisik yang tidak melukai terhadap fisik dan mental sang istri. Hal itu bisa dilakukan sebagai jalan terakhir dalam kegagalan membina perkawinan karena kedurhakaan istri yang dibenarkan secara syar’i setelah memberi teguran dan memisah ranjang dengan sang istri (tidak menyetubuhi).