JURNAL SUMBAWA - Berbagai tudingan yang mengarah pada paslon nomor urut 2 Prabowo-Gibran seperti isu dugaan pelanggaran HAM dan dinasti politik, hal itu mempengaruhi elektabilitas keduanya. Berdasarkan hasil hitung cepat berbagai lembaga survei, mereka meraih lebih dari 50% suara.
Lantas mengapa Prabowo-Gibran bisa meraup suara begitu besar di tengah terpaan sejumlah isu yang bisa saja mengancam elektabilitas mereka? Dari sini demokrasi bukan isu penting bagi banyak orang.
Menurut pakar sosiologi-politik dan aktivis lembaga swadaya masyarakat Mada Sukmajat yang merupakan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) di Universitas Gadjah Mada.
Dari Sejumlah persoalan dalam rekam jejak Prabowo-Gibran hanya dibicarakan oleh kelompok kelas menengah, berpendidikan yang kritis, konflik kepentingan dan moralitas pejabat negara tidak dibicarakan oleh sebagian besar masyarakat ekonomi bawah dan kelompok berpendidikan rendah.
Bahkan, film dokumenter Dirty Vote dan juga pernyataan sikap para guru besar yang mencemaskan situasi demokrasi di Indonesia tidak mampu menjegal perolehan suara Prabowo-Gibran.
“Kegelisahan bahwa demokrasi sedang mundur itu narasi-narasi dari kelompok menengah kritis dan masyarakat elit,” kata Mada.
Menurutnya, transisi menuju demokrasi yang didambakan Indonesia pasca keruntuhan Orde Baru tidak dibarengi kesejahteraan. Data-data yang merujuk tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia itu, kata Mada.
Baca Juga: Pasangan Prabowo-Gibran Sudah Mendapatkan 55,68 Juta Suara, Data Masuk Sementara 71,26 persen di KPU