Ramadan Tiba, Ingat Zakat Fitrah, Waktu yang baik Mengeluarkan Zakat

14 April 2021, 08:35 WIB
Foto Ilustrasi beras sebagai simbolis zakat fitrah /Pixabay/allybally4b

Wartasumbawa.com – Di kalangan masyarakat sebutan yang popular untuk zakat fitri ini adalah zakat fitrah. Mengapa demikian? Karena maksud dari zakat ini adalah zakat jiwa diambil dari kata fitrah yaitu asal-usul penciptaan jiwa sehingga wajib atas tiap jiwa, sebagaimana dikutip Wartasumbawa-Pikiran Rakyat dari persis.or.id pada 14 April 2021.

Namun di kalangan para ulama yang popular adalah زَكَاةُ الْفِطْرِ  zakat fithri atau صَدَقَةُ الْفِطْرِ shadaqah fithri.

Secara Bahasa (lughat), zakat berarti : tumbuh; berkembang dan berkah atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka”. (QS : At-Taubah : 103).

Sedangkan istilah zakat berarti derma yang telah ditetapkan jenis, jumlah, dan waktu suatu kekayaan atau harta yang wajib diserahkan; dan pendayagunaannya pun ditentukan pula, yaitu dari umat Islam untuk umat Islam.

Zakat Fitri disebut juga dengan zakat ifthar –berbuka-, karena berbuka dari puasa Ramadhan, zakat ini diwajibkan sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa riwayat Al Bukhari.

زَكَاةُ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Zakat fitrah karena –selesai- dari puasa Ramadhan”

Yang Wajib mengeluarkan Zakat Fitri

عَنْ ابْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: «فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - زَكَاةَ الْفِطْرِ، صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى الْعَبْدِ، وَالْحُرِّ، وَالذَّكَرِ، وَالْأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ، وَالْكَبِيرِ، مِنْ الْمُسْلِمِينَ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إلَى الصَّلَاةِ» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Ibnu Umar RA, ia berkata, “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah berupa satu sha dari kurma atau satu sha dari syair atas orang merdeka maupun hamba sahaya, laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa, dari orang-orang muslimin, beliau memerintahkan agar zakat ini dibayarkan sebelum orang-orang kalau untuk shalat”. Muttafaq alaih.

Keterangan:

Hadits ini merupakan dalil atas wajibnya zakat fitri, karena beliau menyebutkan bahwa Rasulullah SAW ‘mewajibkan’. Ishaq berkata, ‘zakat fitri hukumnya wajib menurut ijma’.

Namun ada pendapat lain dari Daud dan beberapa pengikut mazhab Asy-Syafi'i bahwa zakat fitri hukumnya sunnah, mereka mentakwil kata-kata ‘mewajibkan’ bahwa maksudnya ialah beliau menentukan ukuran dan jumlahnya. Pendapat ini dibantah dengan jawaban bahwa takwil mereka ini bertentangan dengan zhahir teks.

Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa dahulu hukumnya wajib, namun kemudian dinasakh dengan perintah zakat berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Qais bin Sa’ad bin Ubadah:

«أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِصَدَقَةِ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ تَنْزِلَ الزَّكَاةُ فَلَمَّا نَزَلَتْ الزَّكَاةُ لَمْ يَأْمُرْنَا وَلَمْ يَنْهَنَا»

“Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk membayar zakat fitri, sebelum turun perintah untuk berzakat, ketika perintah untuk berzakat telah turun, maka beliau tidak memerintahkan kami untuk membayar zakat fitri dan tidak pula melarangnya”. [Shahih: An Nasa'i 2506]

Maka pendapat ini tidak benar, karena di dalam hadits ini terdapat perawi majhul, bahkan jika hadits ini shahih, ia tidak menunjukkan adanya nasakh, karena walaupun Rasulullah SAW tidak memerintahkan kembali untuk membayar zakat fitri, hal itu tidak menunjukkan secara langsung bahwa ia merupakan nasakh, karena untuk kewajiban zakat fitri ini cukuplah dengan perintah pertama, di samping itu bahwa beliau tidak memerintahkan kembali, tidak otomatis menghapus perintah pertama.

Hadits ini menegaskan bahwa kewajiban zakat fitri bersifat umum mengenai siapa saja, baik ia hamba sahaya maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa.

Adapula yang berpendapat baik yang kaya maupun miskin. Al Baihaqi telah meriwayatkan dari Abdullah bin Tsa’labah atau Tsa’labah bin Abdullah secara marfu':

«أَدُّوا صَاعًا مِنْ قَمْحٍ عَنْ كُلِّ إنْسَانٍ ذَكَرًا أَوْ أُنْثَى صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا أَوْ مَمْلُوكًا. أَمَّا الْغَنِيُّ فَيُزَكِّيهِ اللَّهُ وَأَمَّا الْفَقِيرُ فَيَرُدُّ اللَّهُ عَلَيْهِ أَكْثَرَ مِمَّا أَعْطَى»

“Bayarkanlah satu sha gandum dari setiap jiwa, laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa, kaya maupun miskin, merdeka maupun hamba sahaya. Adapun orang kaya maka Allah akan menyucikannya, sedangkan orang fakir maka Allah akan mengembalikan kepadanya lebih banyak dari pada apa yang telah ia bayarkan”. [Dhaif: Dhaif Targhib wa Tarhib 663]

Di dalam Mukhtashar As Sunan, Al Mundziri berkomentar, “Di dalam sanad hadits tersebut ada An Nu’man bin Rasyid, ia adalah perawi yang haditsnya tidak bisa digunakan sebagai dasar hukum.”

Juga hadits di atas pertentangan dengan hadits di bawah ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه و سلم  قَالَ: لا صَّدَقَةَ إِلاَّ عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ. رواه البخاري

Dari Abu Hurairah,”Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,’Tidak ada kewajiban zakat kecuali selebih dari keperluan, dan mulailah kepada orang yang ada dalam tanggungannmu”. H.r AL-Bukhari

Sedangkan kewajiban zakat fitri hamba sahaya ditanggung oleh tuannya, berdasarkan pendapat orang yang mengatakan bahwa hamba sahaya tidak mempunyai hak kepemilikan.

Sedangkan mereka yang mengatakan bahwa hamba sahaya mempunyai hak kepemilikan maka ia mewajibkan zakat fitri atas tanggungan hamba sahaya itu sendiri.

Seorang istri ditanggung oleh suaminya, seorang pembantu ditanggung oleh majikannya, dan seseorang bisa ditanggung oleh kerabatnya yang wajib menanggung nafkahnya. Hal ini berdasarkan hadits:

«أَدُّوا صَدَقَةَ الْفِطْرِ عَمَّنْ تَمُونُونَ»

“bayarkanlah zakat fitri dari setiap orang yang kalian tanggung”.

Diriwayatkan Ad Daruquthni dan Al Baihaqi, sanad hadits ini dhaif, oleh karena itu terjadilah perbedaan pendapat sebagaimana yang telah dijabarkan di dalam Asy Syarh dan yang lainnya.

Sedangkan anak kecil, kewajiban zakat fitrahnya dibebankan kepada hartanya jika ia memiliki harta, sebagaimana zakat-zakat yang lain yang wajib atas hartanya.

Jika ia tidak memiliki harta maka kewajiban tersebut dibebankan kepada orang yang menanggung nafkahnya, demikian pendapat jumhur ulama.

Namun ada yang mengatakan bahwa kewajiban zakat fitri sama sekali tidak menyentuh anak kecil, karena zakat fitrah merupakan penyuci bagi orang yang telah melaksanakan puasa dari gurauan dan kata-kata kotor, dan juga sebagai pemberian makan kepada orang-orang miskin sebagaimana yang akan dijelaskan pada kesempatan mendatang.

Pendapat ini dibantah dengan jawaban, bahwa hal-hal yang digunakan sebagai dalil pada pendapat di atas merupakan kondisi pada umumnya.

Dan kondisi ini tidak bisa menggugurkan penjelasan tegas di dalam hadits Ibnu Umar yang mewajibkan zakat fitrah atas anak kecil.

Hadits bab ini juga menjelaskan bahwa setiap orang mengeluarkan zakat tersebut berupa satu sha kurma atau gandum tanpa ada perselisihan di antara para ulama, juga riwayat yang menyebutkan satu sha’ dari kismis.

Ungkapan ‘... dari orang-orang Muslimin,” mengundang banyak pendapat dari kalangan ahli hadits, karena tambahan lafazh ini tidak disepakati oleh para perawi hadits, hanya saja lafazh ini merupakan tambahan dari seorang adil, maka selayaknyalah untuk diterima.

Yang mana tambahan lafazh ini menjelaskan bahwa keislaman seseorang merupakan syarat wajib zakat fitri, sehingga tidak wajib atas orang-orang kafir untuk menzakati diri mereka sendiri.

Hanya saja, apakah seorang muslim harus mengeluarkan zakat fitri dari hamba sahayanya yang kafir? Jumhur ulama berpendapat, tidak. Sedangkan Al Hanafiyah dan yang lainnya berpendapat, ia harus mengeluarkan berdasarkan hadits:

«لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي عَبْدِهِ صَدَقَةٌ إلَّا صَدَقَةُ الْفِطْرِ»

“Seorang Muslim tidak mempunyai kewajiban mengeluarkan zakat atas hamba sahayanya kecuali zakat fitrah.” [Diriwayatkan Ash-Shahihain tanpa tambahan kecuali zakat fitrah]

Jawaban atas hadits ini; bahwa hadits nomor ini bersifat khusus maka ia membatasi hadits-hadits lain yang bersifat umum, dengan demikian lafazh ‘.. hamba sahaya..’ di dalam hadits ini dikhususkan untuk hamba sahaya muslim dengan dasar pemikiran, lafazh hadits ini, ‘... dari orang-orang muslim.’

Selain itu hadits ini juga didukung oleh hadits Muslim dengan lafazh:

«عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ»

“Atas setiap jiwa yang muslim baik merdeka maupun hamba sahaya”.

Waktu Mengeluarkan Zakat Fitri

Menurut K.H. Aceng Zakaria, dalam bukunya Al-Hidayah. dalam hal mengeluarkan zakat fithri, para ulama berbeda pendapat sehingga terdapat lima pendapat:

Boleh mengeluarkan zakat fithri di mulai pada tanggal satu ramadhan.

Boleh (di mulai) dari dua, atau tiga hari dari sebelum hari raya.

Di mulai dari terbenam matahari pada malam hari raya.

Setelah terbit fajar shidiq sampai sebelum melaksanakan ‘ied al-fithri

Boleh setelah sholat hari raya, tetapi makruh.

Dalam kesempatan ini kami sampaikan alasan pendapat yang kami pilih, yaitu pendapat yang keempat, bahwa waktu mengeluarkan zakat itu tidak sah, kecuali sebelum orang-orang pergi untuk shalat (‘ied) ialah mulai dari terbit fajar shidiq, dengan dalil berikut:

وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَالَ: «فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ، وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ» رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَابْنُ مَاجَهْ. وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ

Dari Ibnu Abbas RA berkata, ‘Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkataan yang tidak berguna dan ucapan keji, serta untuk memberi makan orang-orang miskin. Barangsiapa membayarkannya sebelum shalat maka ia sebagai zakat yang diterima, dan barangsiapa membayarnya setelah shalat maka ia dianggap sebagai sedekah dari berbagai macam bentuk sedekah lainnya. HR. Abu Daud dan Ibnu Majah, Al Hakim menshahihkanya.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ.

Dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah SAW memerintahkan (agar) zakat fithri itu dikeluarkan sebelum orang-orang pergi shalat (‘ied). (H.R. Jama’ah, kecuali ibnu majah; Nailu al-Authar, 4:206)

قَالَ ابْنُ التِّينِ : قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى صَلاَةِ الْعِيدِ ، وَبَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ . فتح الباري 5:145

Menurut Ibnu Tin, yakni sebelum orang-orang keluar untuk shalat ‘ied dan setelah shalat fajar. (Nailu al-Authar, 4:206).

دَلَّ حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِقَوْلِهِ " يَوْمَ الْفِطْرِ " أَيْ أَوَّلَهُ ، وَهُوَ مَا بَيْنَ صَلاَةِ الصُّبْحِ إِلَى صَلاَةِ الْعِيدِ. . فتح الباري 5:145

Hadits Ibnu ‘Umar itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan perkataan hari fithri ialah pada awal hari yaitu di antara shalat subuh dan shalat ‘ied. (Fathul al-Bahri, 3:297).

Dinyatakan dalam (kitab) al-Muhalla; “maka waktu mengeluarkan zakat fithri itu, setelah terbit fajar yang kedua (fajar shidiq) pada hari raya.” (al-muhalla, 6:  142)

Karena malam itu bukan tempat (masa) untuk berbuka puasa, yang jelas “FITHRU HAQIQI” (hakikat berbuka) itu adalah makan setelah terbit fajar. (Fathul al-Bari, 3: 291)

Dari Malik, bahwa beliau melihat para ahli ilmu menyukai mengeluarkan zakat fithri, manakala telah terbit fajar pada hari raya, sebelum mereka pergi ke lapangan.

Menurut imam Malik, hal semacam itu leluasa (santai), insya Alloh jika dikeluarkan sebelum pergi ke lapang pada hari raya dan setelah pergi. (al-Muaththa, 1: 268)

Pengertian Qabla:

Qabla adalah zharaf zaman (isim yang menunjukkan kepada keterangan waktu) yang terbatas (waktunya), menurut apa yang diidhafatkan (disandarkan) kepadanya.

Maka “QABLA” itu dapat menunjukkan satu abad, satu tahun, satu bulan, satu minggu, satu hari atau satu jam, tergantung kepada lafazh yang disandarkannya, sedangkan disini lafazh “QABLA” diidhafatkan/disandarkan, kepada “keluarnya orang-orang untuk shalat, tidaklah tepat jika dihitung mulai setelah maghrib, sebagaimana halnya lafazh; dua rakaat qabla shubuh, “tidak berarti dari maghrib atau ‘isya.

Telah berkata Abu Muhammad: “Adapun orang yang berpendapat bahwa waktu mengeluarkan zakat fithri itu dimulai dari terbenam matahari akhir ramadhan, ia berpendapat, bahwa itu adalah zakat fithri (berbuka); yakni berbuka dari shaum ramadhan, dan keluar dari ramadhan secara keseluruhan.”

menurut yang lainnya. (ialah orang-orang yang berpendapat waktu mengeluarkan zakat itu, (mulai) dari terbit fajar hari raya ‘ied al-Fithri.

Sungguh, inilah sebenarnya waktu fithri (berbuka), bukan sebelumnya, karena pada setiap malam berbuka, kemudian shubuh mulai berpuasa.

Jadi sesungguhnya ia berbuka puasanya pada waktu shubuh hari raya fithri, bukan sebelumnya, dan itulah waktu zakat fithri atas kesepakatan kami dan kamu.

Menurut Abu Muhammad, Allah SWT berfirman; “Maka manakala kamu berselisih atas sesuatu…” Dalam hal ini, ‘Abdullah dari Ibnu ‘Umar.

Ia berkata: “Rasulullah telah memerintahkan (untuk) mengeluarkan zakat fithri itu sebelum orang-orang keluar/pergi ke lapang (waktu shalat)”.

Menurut Muhammad: inilah waktu mengeluarkan zakat secara dalil, dan keluarnya mereka ke lapang adalah untuk melaksanakan shalat.

Tinggal…, pendapat mengenai awal waktu mengeluarkan zakat…, kami berpendapat, fithri (berbuka) yang meyakinkan, yaitu dengan terbit fajar pada hari raya, dan batallah pendapat orang yang menyatakan waktunya itu mulai dari terbenam matahari awal malam hari raya, karena waktunya itu menyalahi waktu yang diperintahkan Nabi untuk mengeluarkan zakat fithri atasnya. (al-muhalla, 6: 142)

Dari Abi Sa’id al-khudzri, ia brkata; “kami suka mengeluarkan zakat di masa Nabi satu sha’ makanan di hari raya fithri.” (H.R. Bukhari)

Adapun yang dinamakan “HARI” itu ialah mulai dari terbit fajar shidiq, dan andaikan boleh mengeluarkan zakat sejak malam hari, (mengimgat perhitungan hari dari maghrib), berarti boleh mandi jum’at sejak malam hari (karena telah terhitung hari jum’at), padahal mengenai hal ini tidak ada yang berpendapat demikian.

Dikumpulkan di Jami Zakat

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ الله ُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ.

Dan adalah Ibnu Umar r.a. menyerahkan zakat fitrah kepada yang diberi tugas untuk menerimanya (jami'uz zakat) dan mereka menyerahkan zakat itu sehari atau dua hari sebelum hari raya (H.R.Al-Bukhari).

Keterangan:

Adapun Ibnu ‘Umar mengeluarkan zakatnya itu kepada panitia (penampung) zakat bukan kepada mustahik langsung, sebagaimana dalam haditsnya dinyatakan; “kepada pengumpul zakat.”

Telah berkata Nafi’…..:”Adalah Ibnu ‘Umar suka memberikan zakatnya kepada mereka yang biasa menerimanya dan mereka diserahi zakat itu sebelum hari raya, satu atau dua hari.” (H.R. Baghawi)

Menurut Nafi’, bahwa ‘Umar suka mengirim zakat kepada penampung zakat sebelum hari raya, dua atau tiga hari. (H.R. Malik; al-Muwaththa, 1:268)

Adalah mereka suka diserahi zakat fithrah sebelum hari raya, dua atau tiga hari. (H.R. Bukhari)

Menurut Abu ‘Abadillah, ia adalah mushannif (bukhari): mereka suka memberikan zakat kepada panitia, bukan kepada fuqara secara langsung.

Dan telah jelas dalam riwayat Ibnu khuzaimah dari jalan/riwayat ‘Abdu al-Warits dari Ayyub, aku berkata; “kapan Ibnu ‘Umar suka memberikan zakatnya?’ ia menjawab: “Apabila ‘amil telah siap?” aku bertanya: “kapan ‘amil siap?’ ia menjawab; “sebelum hari raya, satu atau dua hari.” (Fathu al-bari 3: 298)

Walhasil pendapat orang yang menyatakan boleh mengeluarkan zakat fithrah dua atau tiga hari sebelum hari raya, kurang kuat, karena hadits-hadits yang dijadikan dasar ternyata mereka bukan mengeluarkan (zakat) secara langsung kepada mustahik, melainkan kepada panitia yang menampung zakat sebagaimana dijelaskan diatas.

Sedangkan menyerahkan kepada panitia, boleh saja beberapa hari sebelum hari raya, karena hal itu merupakan titipan kepada panitia untuk dibagikan pada waktunya kepada para mustahik (zakat).

Mustahiq Zakat

Sabda beliau, ‘untuk memberi makan kepada orang-orang miskin’ menunjukkan bahwa zakat fitrah hanya dikhususkan untuk mereka saja, inilah pendapat beberapa orang dari al Aal. Sedangkan ulama yang lainnya berpendapat bahwa zakat fitrah seperti zakat yang lainnya, ia dibagikan kepada 8 golongan tersebut, dalam hal ini al Mahdi berargumen dengan firman Allah SWT:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ. التوبة:60

Sesungguhnya shadaqah-shadaqah itu (zakat) itu hanya bagi 1. orang faqir ; 2. orang miskin ; 3. yang bekerja untuk keperluan zakat ; 4. orang yang baru masuk lslam, 5. pada memerdekakan hamba ; 6. orang yang berhutang ; 7. buat (keperluan) di jalan Allah ; 8. orang pelayaran (yang keputusan) ; yang (tersebut itu) satu ketetapan dari Allah. Q.S. Al-Baraah:60

Sedangkan penyebutan beberapa golongan tertentu di dalam beberapa nash tidak menunjukkan pengkhususan, karena kondisi tersebut juga terjadi pada zakat yang lainnya, namun tidak ada satu ulama pun yang mengatakan bahwa zakat bisa dikhususkan untuk golongan tertentu, seperti yang disebutkan di dalam hadits Muadz: ‘aku diperintahkan untuk mengambilnya dari orang-orang kaya di antara kalian dan membagikannya kepada orang-orang miskin di antara kalian.’***

Editor: M. Syaiful

Sumber: Persis.or.id

Tags

Terkini

Terpopuler